Cay Indra and his fresh thoughts.

Monday, April 14, 2003

Kilas Balik: Cay di TK


Taman Kanak-kanak gue di Salatiga dimulai sangat dini, sekitar usia 3 tahun. Kabarnya itu karena gue merengek-rengek minta sekolah jaman itu, iri sama para kakak-kakak di SD. Daripada nangis melulu bikin pusing orang serumah, dibujuklah Kepala TK dekat rumah, sekitar beberapa menit dari rumah kalo naik skuter Vespa bokap. Mungkin karena kasian, mungkin juga karena rengekan gue semakin keras, akhirnya sang Kepala TK iba, dan resmilah gue jadi murid TK entah apa namanya. Begitulah cerita nyokap, dan kebanyakan yang berikut juga cerita nyokap.

Nyokap cerita, setelah gue masuk TK, gue jadi anak paling nakal di TK. Siapa sangka sebuah gunting kertas lucu dan tumpul bisa berbahaya. Babak yang paling terkenang mungkin ketika gue narik rambut muda dan bagus temen gue, terus gue gunting-gunting pake gunting kertas. Entah tergunting ato enggak, toh guntingnya gunting kertas, yang jelas menangis keraslah teman kecil gue itu. Datanglah Bu Guru Sabar dan Baik Hati, dan menasihati gue untuk nggak nggunting rambut temen lagi. Sebagai tindak preventif, sembari menasihati, dijauhkanlah gunting dari gue untuk sementara waktu.

Masih nyokap yang bercerita, bahwa gue tanpa gunting bukan berarti dunia menjadi aman damai. Gunting dan gigi sama-sama tajam. Dalam keadaan kepepet, saat anak-anak kecil itu berkelahi, gue menggunakan gigi untuk senjata. Ya, gue menggigit. Sepertinya keasyikan semenjak perkelahian itu, saat iseng dan bermain pun gue mulai menggigiti teman sebaya. Lengan-lengan halus dan segar tak bernoda seperti lengan Sophia Latjuba jadi ter-tatto oleh bekas gigitan. Sophia-Sophia muda itu menangis tentu, dan dinasihati lagi aku oleh Bu Guru Sabar dan Baik Hati tadi. Untungnya kali ini gigiku tidak diambil, seperti kasus gunting yang lalu.

Dan nyokap juga bercerita, bahwa buat gue makan siang temanpun bisa jadi arena permainan yang asyik. Tentu ini terjadi saat Bu Guru Sabar dan Baik Hati sedang lengah. Tangan kecil yang belum mampu memegang dengan teguh menjadi sasaran, begitu hendak menyuap sepotong paha ayam, gue dorong jadi belakang. Bila beruntung, ayam jatuh, dan air mata berlinang dari sang korban. Dan semakin diulang ternyata semakin menyenangkan, seiring hari berjalan semakin banyak ayam dan telur dan sosis dan ikan asin berjatuhan.

Kali ini sobat kecil gue nggak tinggal diam. Dengan balas dendam yang direncanakan dengan matang, suatu siang dia berjaya menoel tangan gue. Kuning telur rebus di tangan menggelinding dengan seksama, nemplok di atas gundukan pasir di depan sekolah. Tapi gue pikir, ini harus dilawan. Kuning telur gue bawa ke wastafel, gue cuci, dan gue makan dengan lahap (so pasti masih banyak pasir menempel di sana, tapi bukanlah ego bisa mengalahkan logika?). Lagi-lagi di pertempuran ini gue menang, tinggal temen gue melongo melihat gue makan telor bumbu pasir... .

Nyokap berhenti bercerita sampai sana. Yang pasti, untung setelah itu gue pindah TK karena keluarga pindah rumah ke Jakarta. Kalo enggak, kemungkinan besar Bu Guru Sabar dan Baik Hati bakal menganjurkan gue untuk pindah sekolah (yang ini gue nggak tau bener ato enggak, karena nyokap nggak cerita. Mungkin sebaiknya memang nggak cerita, karena bisa jadi aib keluarga...)

***


Updated April 15 @11:59AM : Menurut si Mbak sebagai saksi hidup, nama TK-nya adalah TK Kristen 3 yang satu komplek dengan SD-nya dia, sedangkan Bu Guru Sabar dan Baik Hati (ternyata ada dua) adalah Bu Limson dan Bu Suti. Ah, inget nama-nama itu, jadi keinget kalo ternyata mereka nggak terlalu sabar juga, pas lagi doa masuk kelas, biasanya gue malah pecicilan lirik-lirik sana sini, sampe akhirnya dimarahi juga, hihihi... .