Cay Indra and his fresh thoughts.

Wednesday, March 19, 2003

Bagaimana Keputusan Menyerang Irak Bisa Dihasilkan oleh White House
Analisa Psikologi Sosial

Beberapa hari yang lalu gue baca Time Magazine tentang rame-ramenya Amerika pengen nyerang Irak. Pada sebuah kesempatan, wartawan Time sempet nanya ke George W Bush yang (kira-kira) kayak gini, "Apa Anda tidak melihat puluhan ribu demonstran yang saat ini ngrubungin White House untuk menolak perang? Ngeliat rakyat Anda kayak gitu, kenapa Anda tetep aja mau perang?"

Dan Bush menjawab (kurang lebih) kayak gini: "Saya tau dan liat ada demonstrasi, kok. Tapi keputusan untuk perang atau tidak dilaksanakan dalam sebuah group-thinking, yang mempertimbangkan setiap kepentingan nasional dan dunia."

Pertanyaan (kayak ujian sekolah): Masa dari orang sebanyak itu dalem timnya Bush, nggak ada satupun yang nolak perang sih? Apa orang-orang itu sadistis semuanya?

***

Setelah ngebaca excerpt di atas, gue jadi keinget sebuah masa di mana group-thinking di Oval Office juga menghasilkan keputusan yang berakhir menjadi bencana: Tahun 1960an, John F Kennedy bersama timnya mengijinkan CIA melakukan operasi untuk menginvasi Kuba, sebuah keputusan yang dihasilkan tanpa ada keberatan yang berarti dari tim tersebut. Moral yang tinggi dari tim ini ngebikin seolah-olah rencana ini foolproof, anti-gagal. Akhir cerita? Sekelompok pasukan tersamar dari Amerika yang dikirim untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro ketangkap di Kuba, bikin malu pemerintah Amerika, sampe-sampe Keneddy komentar, "Kok kita bego banget sih?"

***

Konformitas: perubahan sikap atau keyakinan sebagai hasil dari "tekanan" kelompok, baik nyata maupun imajiner.

Dalam kajian Psikologi Sosial, ditemukan bahwa konformitas itu eksis, dan berkembang pada saat keputusan menjadi sulit untuk dicapai atau subyek kehilangan rasa PD-nya. Contoh "benda" yang paling rentan sama konformitas ini adalah, ya tadi itu, group-thinking. Biar jelas, di bawah ini gue nulis tiga hal yang bisa numbuhin konformitas dalem sebuah tim:

Loe Yakin Mau Sendirian?
Minoritas umumnya bisa eksis, tapi sendirian jadi minoritas bukanlah sesuatu yang gampang, bener nggak? Penelitian menunjukkan kalo umumnya orang bisa memegang teguh pendapatnya, kalo dia bisa nyari orang lain yang ngedukung pendapatnya itu. Mungkin bukti yang paling tua dari hal ini adalah fakta kalo Yesus selalu mengirimkan rasulnya untuk berdakwah secara berpasangan. Dan dalam kasus Bush ini, timnya itu udah cukup kuat buat meyakinkan satu sama lain, kalo pendapat kelompok mereka itu benar.

"Gue yakin dia bener, dia kan kelompok gue"
Minjem istilah kimia, bahasa kerennya adalah kohesivitas: kalo yang ngomong itu orang yang (elo anggap) satu golongan sama elo, umumnya elo bakal lebih gampang percaya. Logis sekali, dan itu sebabnya kebanyakan orang Islam lebih yakin kalo sebuah makanan itu halal, andai yang bilangin adalah sesama temen muslimnya, daripada temen lainnya yang agamanya lain. Gue hampir yakin kalo di dalam timnya Bush ini, adalah orang-orang pemerintahan Bush sendiri (paling enggak satu partai dan punya visi yang hampir sama), sehingga tim ini amat sangat kohesif.

"Gue kan tadi dah bilang gitu.. ya gitu lah."
Misalnya elo ditanya sesuatu, dan jawabnya "X". Abis itu elo denger kalo orang-orang di sekitar lo nggak setuju dengan jawaban "X" itu. Terus elo ditanya lagi apakah elo mau merevisi pernyataan lo. Dalam tekanan kelompok kayak gitu, mana yang elo pilih? Berargumen dan kekeuh milih "X", atau milih nyerah?

Penelitian menunjukkan, umumnya orang (dan kelompoknya) lebih milih bertahan dengan pendapatnya (penelitian lebih lanjut menemukan kalo orang ini akan bertahan paling enggak sampai bener-bener ada fakta nyata kemudian hari yang membuktikan kebalikannya). Hal ini terjadi, terutama kalo kelompok itu udah punya so-called komitmen publik: sekali elo udah ngomong di depan umum, loe bakal bertahan di sana. Alasan logis? "Reputasi man... reputasi..." Psikologis yang satu ini dipake bener sama orang-orang semacam salesman: kalo dia mau ngejual produk asuransi ke elo, kemungkinan elo bakal ditanya: "Apakah Anda merasa jaminan masa depan itu perlu?" (untuk membuat elo ngomong komitmen untuk diri lo sendiri), bukannya "Kenapa sampai sekarang Anda nggak punya asuransi?" Dilihat dari sudut psikologi sosial, sekali elo udah ngomong, apapun yang dikatakan orang lain, bahkan ketika elo sendiri mulai nggak percaya sama apa yang barusan elo omongin, besar kemungkinan elo nggak akan ngubah pendapat elo saat itu juga.

***

Jadi, apakah Bush itu bener atau salah dalam menyerang Irak? Hm, mungkin sampai kiamat nggak ada yang tau jawabannya. Tapi di sini kita bisa belajar, kalo group-thinking yang dipake banyak orang buat ngambil keputusan, termasuk Bush kali ini, nggak selamanya bagus dan bener.

Yang ngajarin: Prof. David Myers dan bukunya Social Psychology, 1996